Lahir di Purwakarta, Jawa
Barat, pada tahun 1919 M.
Wafat di Batu Pahat,
Malaysia pada 13 Mei 2010 M (28 Jumadil Ula 1431 H).
Lokasi Makam, Tanah Pekuburan
Islam Bukit Cermai, Batu Pahat, Johor, Malaysia.
Belum hilang rasa sedih di
hati atas wafatnya Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah, tersiarlah
berita duka dari negeri jiran Malaysia. Kamis, 13 Mei 2010/28 Jumadil Ula 1431
H, sore menjelang maghrib, atau tepat 40 hari setelah Habib Abdul Qadir wafat,
satu lagi pilar Bani Alawi, Habib Ali bin Ja’far bin Ahmad Alaydrus, atau yang
sering disebut ‘Habib Ali Batu Pahat’, pergi menuju haribaan mulia Sang
Pencipta. Umat Islam kembali ditinggalkan seorang kekasih Allah yang
mengajarkan kepada siapa pun bahwa di zaman yang sudah amat maju ini orang
masih bisa hidup zuhud dan tawadhu.
Dalam kesederhanaannya, ia
mengarungi hidup dengan tegar.
Banyak di antara pecintanya ingin membangunkan rumah mewah sebagai kediaman
yang layak bagi orang sebesar dirinya. Namun semuanya ia tolak secara halus.
Demikianlah, setiap harinya dia mandi dan mengambil wudhu di kamar mandi yang
bersatu dengan sumur tua dalam bangunan yang sangat sederhana. Tanda keutamaan
dalam dirinya sangat jelas. la adalah orang yang ketika wajahnya dipandang,
dapat mengingatkan hati yang memandangnya kepada Allah SWT. Akhlaqnya amat
luhur dan mulia, sebagai bias dari akhlaq datuknya, Baginda Rasulullah SAW.
Amalan Habib Ali bin
Ja’far bin Ahmad Alaydrus (Habib Ali Batu Pahat)
Beliau
meng-ijazahkan 2 amalan penting yaitu istighfar dan shalawat.
Istighfar Habib Ali bin
Ja’far Alaydrus (Batu Pahat Malaysia)
Shalawat Habib Ali bin
Ja’far Alaydrus (Batu Pahat Malaysia)
Sumber :
http://www.facebook.com/photo.php?pid=31285321&id=1163801308
http://www.facebook.com/photo.php?pid=840877&op=1&o=global&view=global&subj=1163801308&id=1587022549
Sikap zuhud terhadap dunia adalah hiasan terindah dalam kesehariannya. Begitu
pula sifatnya yang teramat wara’. Salah seorang kerabatnya dari Indonesia, yang
masih terhitung cucunya, suatu saat mengunjunginya. Saat berada di sana, lewat
jendela rumah sederhana itu, sang cucu memandangi buah kelapa yang menggantung
di pohon kelapa di sisi rumahnya. Memperhatikan hal itu, Habib Ali mendekat dan
mengatakan kepadanya, “Kamu mau buah kelapa itu? Sebentar. Saya mintakan izin
dulu sama si empunya tanah. sebab, saya hanya menyewa rumahnya, tanahnya tidak
ikut saya sewa.” Subhanallah. Rumah sederhana yang ia tempati itu pun ternyata
rumah sewaan, bukan rumah miliknya.
Rumah Habib Ali bin Ja’far
bin Ahmad Alaydrus (Habib Ali Batu Pahat)
Hidup Sederhana Habib Ali
bin Ja’far bin Ahmad Alaydrus dalam keseharian
Sangat Memuliakan Tamu
Hatinya begitu lembut. la tak ingin ada sedikit pun rasa kecewa tumbuh di hati orang yang mengunjunginya. Di rumahnya yang amat sederhana, kecil, dan sempit itu, sedemikian rupa ia muliakan setiap tamu yang datang. Semua ia terima dengan penerimaan yang menyenangkan hati, tak peduli rupa apalagi harta. Berjumpa dengan sosok bersahaja itu, hati pun serasa menjadi lapang seketika.
Hatinya begitu lembut. la tak ingin ada sedikit pun rasa kecewa tumbuh di hati orang yang mengunjunginya. Di rumahnya yang amat sederhana, kecil, dan sempit itu, sedemikian rupa ia muliakan setiap tamu yang datang. Semua ia terima dengan penerimaan yang menyenangkan hati, tak peduli rupa apalagi harta. Berjumpa dengan sosok bersahaja itu, hati pun serasa menjadi lapang seketika.
Ruang tamunya pun tak pernah kosong dari ratusan botol kemasan air mineral para
tamu yang berharap keberkahan dari doa-doa yang ia lafalkan. Meski amat banyak
untuk ukuran seorang yang sudah sesepuh Habib Ali Batu Pahat, ia mendoai satu
per satu air itu dengan penuh kekhusyu’an.
la amat santun kepada setiap tamunya. Kaya, miskin, ulama, ataupun awam. Siapa
pun.
Meski hidup sederhana, ia
bahkan hampir selalu memberikan uang kepada para tamunya. Jumlahnya terkadang
tidak kecil. Jika mereka berkunjung pada jam makan, tak mungkin tamunya
diizinkan pulang sebelum mereka makan bersamanya. sifat rendah hatinya kepada
setiap tamunya amat mengagumkan. sebelum sang tamu pulang, orang semulia
dirinya ini justru selalu meminta doa dari mereka.
Kelahiran Purwakarta
Ayah Habib Ali, Habib
Ja’far bin Ahmad Alaydrus, datang ke Singapura dari Purwarkarta dan menetap di
Negeri Singa itu selama beberapa tahun pada dekade tahun 1930-an dan tinggal di
Lorong 30 Geylang.
Habib Ja’far kembali ke
Hadhramaut pada tahun 1938. ia wafat pada tahun 1976 di kota Tarim. Jenazahnya
dimakamkan di Pemakaman Zanbal, berdekatan dengan makam datuknya, Habib
Abdullah Alaydrus. Berdasarkan kisah yang disampaikan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah, ketika ayah Habib Ali
ini masih dalam kandungan ibunya, kakeknya, Habib Abdul Qadir bin Salim,
berkata kepada istrinya, Hababah Aisyah Assegaf, jika putranya Ahmad dikaruniai
anak laki-laki, akan ia namai “Salim”, mengikut nama orang tua Habib Abdul
Qadir sendiri. Namun istrinya, Hababah Aisyah, tidak setuju dengan usulan itu
dan ia ingin menamainya Ja’far, mengikuti nama datuk sang istri, Habib Ja’far
bin Ahmad bin Ali bin Abdullah Assegaf.
Mendengar usulan sang
istri, Habib Abdul Qadir mengatakan, ia bersedia menamainya “Ja’far” sekiranya
tampak nyata kelebihan yang ada pada diri anak itu kelak. “Baik, kamu akan
lihat kelebihannya, giginya akan tumbuh sebelum waktunya,” kata. Hababah Aisyah
saat itu.
Habib Abdul Qadir menimpali kembali, “Kalau memang demikian, aku akan sembelih
tujuh ekor kambing.” Pada saatnya, benar
saja, yang terlahir adalah seorang anak laki-laki. Dan tiba hari ketujuh, hari
untuk menyelenggarakan aqiqah sekaligus untuk memberikan nama pada sang anak,
nyatalah apa yang dikatakan Hababah Aisyah. Gigi si cucu mulai terlihat. Maka,
sang cucu pun dinamai “Ja’far”.
Habib Ja’far kemudian tumbuh dewasa dalam lingkungan keluarga yang shalih dan
alim.
la juga kemudian dikenal
sebagai seorang alim pada masanya. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah
termasuk yang ber-istifadah (mengambil faidah ilmu) darinya.
Di antara karyanya, Habib
Ja’far meninggalkan sebuah diwan (kumpulan qashidah) yang kini telah dicetak
oleh penerbit Darul Ushul, Yaman.
Habib Ja’far bin Ahmad mempunyai 10
putra, yakni Abdullah, Abdul Qadir,
Ali, Salim, ldrus, Thaha, Ahmad, Abubakar, Thahir, dan Alwi, serta beberapa
putri. Di antara putri Habib Ja’far yang masih hidup pada saat ini adalah
adik Habib Ali yang bernama Syarifah
Gamar.
Mungkin tak banyak orang
yang tahu bahwa Habib Ali Batu Pahat ini
kelahiran Nusantara, tepatnya di Purwakarta, Jawa Barat, pada tahun 1919. Sebagian
keluarganya saat ini juga masih berada di sana.
Tahun 1926, yaitu saat berumur tujuh tahun, ia tiba di Singapura. Tapi hanya
sebentar, lalu ia kembali lagi ke Indonesia. Tahun 1929, untuk kedua kalinya ia
datang ke Singapura dan kemudian menetap di sana hingga tahun 1942.
Di Singapura, ia tinggal
bersama ayah dan kakaknya, Habib Abdul Qadir bin Ja’far Alaydrus, di sebuah
rumah di Arab Street. Ketika itu sang kakak baru datang dari Hadhramaut.
Berdasarkan cerita yang pernah disampaikan Habib Ali sendiri, kedatangan sang
kakak mendapat sambutan yang amat hangat dari penduduk Singapura pada saat itu.
Habib Abdul Qadir sendiri wafat di Purwakarta dan dimakamkan di sana.
Tahun 1942, Habib Ali hijrah ke Batu Pahat, Johor,
Malaysia. Semasa hidup di negeri
rantau yang baru ini, Habib Ali menjadi tempat mengadu berbagai permasalahan
banyak orang.
Tempat Ziarah para Ulama
Semasa hidupnya, Habib Ali
menjadi tempat mengadu berbagai permasalahan banyak orang. Mereka yang berasal
dari Nusantara dan negara-negara Arab, apabila berkunjung ke Malaysia, akan
meluangkan waktu untuk mengunjunginya, demi mendapatkan mutiara nasihat dan
keberkahan dari sosok yang jiwa dan raganya ini senantiasa bergantung kepada
Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Jenazah Habib Ali bin
Ja’far bin Ahmad Alaydrus terakhir saat dikapani
Makam
Habib Ali bin Ja’far bin Ahmad Alaydrus (Habib Ali Batu Pahat)
Di antara petuah yang pernah ia sampaikan, “Allah SWT adalah Sang Khaliq.
Manusia hanyalah makhluk. maka, manusia harus mematuhi apa pun perintah Sang
Maha Pencipta. Bukan Sang Maha Pencipta yang mematuhi perintah manusia.”
Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki, bila berkunjung ke Malaysia, pun kerap
menziarahi Habib Ali di Batu Pahat. Pada perjumpaan terakhirnya dengan Habib
Ali, Sayyid Muhammad Al-Maliki
mengatakan, ia meyakini bahwa Habib Ali adalah seorang yang diberi anugerah
besar dari sisi Allah di negeri rantaunya ini. Sebelum pulang, Sayyid Muhammad
Al-Maliki pun mengarang sebuah qashidah untuknya yang menggambarkan sifat-sifat
mulia Habib Ali bin Ja’far Alaydrus.
Kunjungan Sayyid Muhammad Al-Maliki Ketempat Habib Ali bin Ja’far bin Ahmad Alaydrus
Pernah suatu kali Sayyid
Muhammad bin Alwi Al Maliki rahimahullah berkunjung pada beliau, sepanjang
jalan Sayyid Muhammad berbicara tentang rindunya pada Rasulullah saw, maka
ketika sampai di kediaman beliau, maka semua tamu tidak diperkenankan masuk,
kecuali Sayyid Muhammad Al Maliki, mereka masuk berdua cukup lama, lalu
keluarlah Sayyid Muhammad Al Maliki dengan air mata yg bercucuran.., seraya
berkata : hajat saya sudah terkabul… terkabul.., sambil menutup wajah beliau
dengan linangan air mata.
Diantara Ulama yang pernah
mengunjungi dan bersilaturrahmi kepada beliau antara lain,
Al Habib Zein bin Ibrahim
bin Semith dari Madinah,
Al Habib Salim bin
Abdullah Asy Syatiri (Hadramaut),
Al Habib Umar bin Hafidh
(Hadramaut),
Al Habib Anis bin Alwi Al
Habsyi dari Solo dan tokoh habaib dan ulama lainnya.
Kunjungan Habib Anis Ketempat Habib Ali bin Ja’far bin Ahmad Alaydrus (Habib Ali Batu Pahat)
Tenggelamnya sebuah Bintang
Habib Ali wafat sekitar
pukul 17.10 atau 17.15 petang waktu setempat. Syed Ibrahim dan Syed Ja’far,
keduanya cucu Habib Ali, dari putranya yang bemama Syed Husein, di sampingnya
ketika itu. Hari wafatnya ini menjelang lima hari sebelum haul ayahandanya,
Habib Ja’far bin Ahmad, yaitu pada 3 Jumadil Akhirah.
Dari saat Habib Ali wafat waktu dimandikan keesokan harinya, jenazahnya tak
putus-putus dikunjungi ribuan manusia dari segala penjuru dan lapisan
masyarakat, terutama dari Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Di antara yang
hadir menyampaikan ta’ziyahnya pada saat itu adalah Syed Hamid bin Ja’far
Al-Bar, mantan menteri luar negeri dan menteri dalam negeri Malaysia.
Begitu juga bacaan Al-Quran, Yaasin, dan tahlil tak putus-putusnya dibacakan
hingga jenazahnya usai dimandikan oleh keluarga sekitar pukul 09.30, Jum’at
pagi.
Karena begitu banyaknya
penta’ziyah yang datang untuk dapat menghadiri prosesi shalat Jenazah, akhirnya
jenazah Habib Ali dishalatkan sebanyak dua kali. Pertama, sebagaimana
wasiatnya, dishalatkan di dalam rumah, yang diimami oleh Habib Abdullah bin
Alwi bin Muhammad Alaydrus, dan kedua di luar rumah, dengan imam Habib Hasan
bin Muhammad bin Salim Al-Attas.
Jenazahnya kemudian dimakamkan sebelum shalat Jum’at, 29 Jumadil Ula 1431 H/14
Mei 2010, di Tanah Pekuburan Islam Bukit Cermai, Batu Pahat, Johor, Malaysia.
Habib Umar bin Hamid AI-Jilani dari Makkah yang membacakan talqin pada saat
itu. Habib Ali bin Ja’far Alaydrus meninggalkan seorang putri bernama Syarifah
Khadijah dan tiga orang putra, yaitu Syed Muhammad, Syed Umar, dan Syed Husein.
Semoga ketabahan dan ketawakalan mengiringi hati keluarga dan para pecintanya
atas kepergian sosok yang amat mereka cintai dan muliakan ini.
Ulama adalah pewaris para nabi. Kepada para pewarisnya itu, Nabi SAW tidak
mewariskan harta, tetapi beliau mewariskan ilmu kepada mereka, yang nilainya melebihi
bilangan harta, seberapa pun besarnya. Siapa yang mengambil ilmu mereka, dia
telah mengambil harta yang amat bernilai.
Oleh karenanya, wafatnya seorang ulama adalah musibah yang sulit tergantikan
dan satu kelemahan yang susah ditutupi. Wafatnya seorang ulama ibarat sirnanya
sebuah bintang di antara gugusan bintang-bintang lainnya.
Rasulullah SAW mengatakan;
“Sesungguhnya wafatnya
satu kabilah lebih ringan musibahnya
dibandingkan atas wafatnya
seorang yang alim.”
(HR Abu Dawud, At
Tirmidzi, Ibn Majah, dan Al-Bayhaqi).
Kini Habib Ali telah
tiada. Dengan segala kemuliaannya, ia telah berada di sisi Sang Khaliq. Tinggal
kita semua yang saat ini telah ditinggalkannya. Kita yang masih banyak
bergelimang dengan dosa. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah di atas
jalan hidup kita, mengampuni kita atas dosa-dosa kita, dan mengumpulkan kita
kelak di surga-Nya bersama orang-orang yang kita cintai.
Referensi : majalah
alKisah no 11/Tahun VIII dan beberapa sumber lain