Manaqib Tabi’in : Al-Qosim Bin Muhammad Bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. r a (36-107 H)
Jika anda pernah mendengar sebuah hadits, “Perbedaan di antara umatku adalah rahmat”, maka beberapa sumber mengatakan bahwa sanad hadits bermuara/ berhenti/ terputus pada beliau ini. Wallahu a’lam.
Sudah sampaikah berita kepada Anda tentang tabi’in yang agung ini? Seorang pemuda yang terkumpul pada dirinya pujian dari segala sisi, tak satupun pujian luput darinya. Ayahanda beliau adalah Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ibunya adalah puteri Yazdajir, Raja Persia yang terakhir. Sedangkan bibinya dari pihak ayah adalah Aisyah Rodhiallahu ‘anha, Ummul Mukminin. Di samping itu, di atas kepalanya telah bertengger mahkota takwa dan ilmu. Adakah Anda masih mengira ada kemenangan yang lebih tinggi dari kemenangan yang semua orang bersaing dan berlomba mendapatkannya ini?
Dialah Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, satu dari tujuh fuqaha Madinah, yang paling utama ilmunya pada zamannya, paling tajam kecerdasan otaknya dan paling bagus sifat wara’-nya. Marilah kita buka lembaran hidupnya dari awal. Al-Qasim bin Muhammad lahir pada akhir masa khilafah Utsman bin Affan Rodhiallahu ‘anhu. Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya anak ini, badai fitnah semakin dahsyat menerpa kaum muslimin. Hingga me¬ngakibatkan terbunuhnya khalifah yang zuhud, ahli ibadah, Dzun Nurain Utsman bin Affan sebagai syuhada, sedangkan Al-Qur’an ber¬ada dalam dekapannya
Suatu hari beliau memakaikan baju berwarna putih untuk kami. Kemudian aku didudukkan di pangkuannya yang satu sedang adikku di pangkuan yang lain. Paman Abdurrahman datang atas undangannya. Lalu bibi Aisyiah mulai berbicara, beliau mulai dengan pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sungguh aku belum pernah mendengar sebelum dan sesudahnya seorangpun baik laki-laki ataupun perempuan yang lebih fasih lisannya dan lebih bagus tutur katanya dari beliau.
Beliau berkata kepada paman: “Wahai saudaraku, aku melihat sepertinya Anda menjauh dari saya sejak saya mengambil dan merawat kedua anak ini. Demi Allah saya melakukannya bukan karena lancang kepada Anda, bukan karena saya menaruh buruk sangka kepada Anda dan bukan pula lantaran saya tidak percaya bahwa Anda dapat memenuhi hak keduanya. Hanya saja Anda memiliki istri lebih dari satu, se-dangkan ketika itu kedua anak kecil ini belum bisa mengurus dirinya sendiri. Maka saya khawatir jika keduanya dalam keadaan yang tidak disukai dan tidak sedap dalam pandangan istri-istrimu. Sehingga saya merasa lebih berhak untuk memenuhi hak keduanya ketika itu. Namun sekarang keduanya sudah beranjak remaja dan telah mampu mengurus dirinya sendiri, maka bawalah mereka dan aku serahkan tanggung jawabnya kepada Anda.” Begitulah, akhirnya pamanku Abdurrahman memboyong kami ke rumahnya.
Hanya saja, hati anak keturunan Abu Bakar ini masih terpaut dengan rumah bibinya, Aisyah Rodhiallahu ‘anha. Rindu terhadap lantai rumah yang bercampur dengan kesejukan nubuwat. Dia berkembang dan terpelihara oleh perawatan pemilik rumah itu, dia kenyang dalam kasih sayangnya. Oleh sebab itu, dia membagi waktunya antara rumah bibi dan rumah pamannya. Rumah bibinya betul-betul berkesan di hatinya. Lingkungan yang sejuk itu menghidupkan sanubari selama hayatnya. Simaklah kesan-¬kesan yang melekat di hatinya:
“Suatu hari aku berkata kepada bibiku Aisyah Rodhiallahu ‘anha: “Wahai ibu, tunjukkan kepadaku kubur Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dan kedua sahabatnya, aku ingin sekali melihatnya.” Tiga kubur itu berada di dalam rumahnya, ditutup dengan sesuatu untuk menghalangi pandangan. Beliau memperlihatkan untuk kami tiga buah makam yang tidak digundukkan dan tidak pula dicekung-kan. Ketiganya ditaburi kerikil merah seperti yang ditaburkan di halaman masjid. Saya bertanya: “Yang mana makam Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau menunjuk salah satu darinya: “Ini.”
Bersamaan dengan itu, dua butir air mata bergulir di pipinya, tetapi segera di sekanya agar aku tak melihatnya. Makam Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam itu agak lebih maju dari makam ke¬dua sahabatnya. Saya bertanya lagi: “Lalu yang mana makam kakekku, Abu Bakar?” Sambil menunjuk satu kubur beliau berkata: “Yang ini.” Kulihat ma¬kam kakekku sejajar dengan letak bahu Rasulullah. Aku berkata: “Yang ini makam Umar?” Beliau menjawab: “Benar.” Aku melihat letak kepala Umar sejajar dengan jari-jari kakekku, dekat dengan arah kaki Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam.”
Menginjak remaja, cucu Abu Bakar ini telah hafal Kitabullah dan menimba hadits-hadits dari bibinya, Aisyah Rodhiallahu ‘anha sebanyak yang dike¬hendaki Allah. Dia tekun mendatangi Al-Haram Nabawi dan duduk dalam halaqah-halaqah ilmu yang terhampar di setiap sudut-sudut masjid laksana bintang-bintang gemerlap yang bertaburan di langit yang terang.
Beliau menghadiri majlisnya Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Khabbab, Rafi’ bin Khudaij, Aslam pembantu Umar bin Khathab dan sebagainya. Hingga pada gilirannya beliau menjadi imam mujtahid dan menjelma menjadi manusia yang paling pandai dalam hal sunnah pada zamannya, di mana ketika itu seseorang belumlah dianggap sebagai tokoh sebelum dia mendalami sunnah-sunnah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam. Setelah sempurna perlengkapan ilmu pemuda yang merupakan cucu Abu Bakar ini, orang-orang banyak belajar kepadanya dengan penuh perhatian. Sementara beliau memberikan ilmunya tanpa pamrih atau jual mahal. Beliau tak pemah absen untuk pergi ke masjid Nabawi setiap hari lalu shalat dua rekaat tahiyatul masjid kemudian duduk di bekas tempat Umar Rodhiallahu ‘anhu di Raudhah, yakni tempat antara kubur Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam dengan mimbarnya. Selanjutnya berkumpullah murid-muridnya dari segala penjuru untuk menimba ilmu dari sumber yang segar dan bersih, melegakan jiwa-jiwa yang haus akan ilmu.
Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Al-Qasim bin Muhammad dan putera bibinya, Salim bin Abdullah bin Umar, menjadi dua imam Madinah yang terpercaya. Keduanya menjadi tokoh yang ditaati dan didengar perkataannya, meskipun keduanya tidak memiliki wilayah jabatan ataupun kekuasaan. Masyarakat mengangkat keduanya kare¬na sifat takwa dan wara’nya. Juga karena pusaka yang berada di dalam dadanya berupa ilmu dan pemahamannya, ditambah lagi karena sifat zuhudnya terhadap apa yang dimiliki oleh manusia serta berharap banyak terhadap apa-apa yang berada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Martabat keduanya mencapai puncaknya hingga khalifah-khalifah Bani Umayah dan para bawahannya hormat kepadanya. Penguasa-penguasa tersebut bahkan tidak pernah memutuskan suatu masalah yang pelik kecuali setelah mendengarkan pendapat kedua ulama tersebut.Sebagai contoh, ketika Al-Walid bin Abdul Malik berkeinginan untuk memperluas Al-Haram Nabawi yang mulia. Rencana ini tidak bisa dilaksanakan tanpa membongkar masjid yang lama pada keempat arahnya dan menggusur rumah istri-istri Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam untuk perluasan. Persoalan ini rentan dengan perpecahan antara kaum muslimin dan menyakiti perasaan mereka. Mengingat hal ini, maka khalifah menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz, wali Madinah, yang isinya sebagai berikut:
“Saya memandang perlunya memperluas Masjid Nabawi Asy-Syarif sampai 200 hasta persegi. Untuk kebutuhan ini, keempat dindingnya perlu dirobohkan dan rumah istri-istri Nabi terpaksa kena perluasan. Selain itu rumah-rumah yang ada di sekitarnya perlu dibeli dan kiblatnya dimajukan kalau bisa. Anda mampu mewujudkan hal itu, mengingat kedudukan Anda di antara paman-paman Anda adalah keturunan lbnul Khathab dan besarnya pengaruh mereka di masyarakat. Jika penduduk Madinah menolaknya, Anda bisa minta bantuan pada Al-Qasim dan Salim bin Abdullah. Sertakan keduanya dalam rencana pemugaran dan perluasan ini. Jangan lupa, bayarlah ganti rugi rumah-rumah rakyat dengan harga setinggi mungkin. Bagi Anda pahala yang baik seperti yang dilakukan Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan.”
Dengan segera, gubernur Madinah Umar bin Abdul Aziz mengun¬dang Al-Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdullah bin Umar dan para pemuka kaum muslimin Madinah. Kepada mereka dibacakan surat perintah khalifah yang baru saja diterima. Ternyata mereka gem¬bira dengan apa yang direncanakan oleh Amirul Mukminin dan siap sedia untuk mendukung rencana tersebut. Demi melihat imam-imam dan ulama mereka turun tangan sendiri melaksanakan pemugaran masjid, penduduk Madinah secara serentak turut membantu dan melaksanakan sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin dalam suratnya.
Di tempat lain, pasukan muslimin terus mendapatkan kemena¬ngan gemilang. Mereka berhasil menjatuhkan benteng-benteng mu¬suh di Konstantinopel dan merebut kota demi kota di bawah pimpinan komandan yang tangkas dan pemberani, Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan. Ini adalah awal terbukanya Konstantinopel.
Kaisar Romawi mendengar rencana pemugaran dan perluasan masjid Nabawi, maka dia ingin menyenangkan dan mengambil hati Amirul Mukminin. Dikirimnya 100 kilogram emas murni disertai 100 arsitek dari Romawi dan membawa ubin-ubin marmer yang indah. Bantuan tersebut dikirimkan oleh Al-Walid kepada Umar bin Abdul Aziz. Wali Madinah ini baru mau memanfaatkannya setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan Al-Qasim bin Muhammad.
Alangkah miripnya Al-Qasim dengan kakeknya, Abu Bakar Ash-¬Shidiq Rodhiallahu ‘anhu, sampai orang-orang berkomentar: “Tidak ada anak ke¬turunan Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu yang lebih mirip dengan beliau dari Al-Qasim. Dia begitu serupa dalam akhlak, bentuk fisik, keteguhan iman maupun kezuhudannya…” Dan banyak sekali sikap dan perbuatannya yang membuktikan hal ini. Sebagai contoh, ketika ada seorang dusun datang ke masjid lalu bertanya kepada beliau: “Siapakah yang lebih pandai, Anda ataukah Salim bin Abdullah?” Al-Qasim berpura-pura sibuk sehingga si penanya mengulangi pertanyaannya. Beliau menjawab: “Subhanallah.”
Pertanyaan itu diulang untuk ketiga kalinya, lalu Al-Qasim ber¬kata: “Itu dia, Salim putera bibiku duduk di sebelah sana.” Orang-¬orang yang di majelis itu saling berbisik: “Sungguh mirip dia dengan kakeknya. Dia tidak suka dan sangat benci untuk berkata: “Aku lebih pandai,” karena hal itu berarti menyombongkan diri. Namun dia tidak pula berkata: ” Dia lebih pandai,” Sebab itu berarti dusta, meng¬ingat sebenarnya dia lebih pandai daripada Salim.
Suatu ketika, di Mina terlihat para jama’ah haji ke Baitullah berdatangan dari segala penjuru negeri dan mereka bertanya tentang agama kepada Al-Qasim. Beliau menjawab sebatas apa yang beliau ketahui. Kepada mereka yang menanyakan masalah yang dia tidak mengetahuinya, tanpa rasa malu beliau berkata: “Aku tidak tahu … aku tidak mengerti … aku tidak tahu.” Nampaknya orang-orang heran dan pe¬nasaran dengan jawaban tersebut, maka beliau menegaskan kepada mereka: “Aku tidak tahu apa yang kalian tanyakan itu. Seandainya saya tahu, tentu tidak akan aku sembunyikan. Sungguh seseorang hidup dalam keadaan bodoh -selain berma’rifah kepada hak-hak Allah- adalah lebih baik daripada seseorang mengatakan apa yang tidak dia ketahui ilmunya.”
Pernah pula ketika beliau ditugaskan untuk membagikan harta sedekah kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Maka beliau melaksanakannya sebaik mungkin dan memberikan bagian kepada yang benar-benar berhak atasnya. Namun ada satu orang yang tidak puas dengan bagiannya dan mendatanginya di masjid: Beliau tengah melakukan shalat ketika orang itu datang dan bicara soal harta sedekah. Putera Al-Qasim yang mendengarnya dengan dongkol berkata: “Demi Allah engkau telah melemparkan tuduhan terhadap orang yang tidak sepeserpun mengambil bagian dari harta sedekah itu dan tidak makan walau sebutir kurma.”
Setelah menyelesaikan shalatnya, Al-Qasim menoleh kepada puteranya seraya berkata: “Wahai puteraku, mulai hari ini janganlah engkau berbicara tentang masalah yang tidak engkau ketahui.” Orang-orang berkata: “Apa yang dikatakan anaknya memang be¬nar, namun beliau ingin mendidik putranya agar menjaga lidah dalam mencampuri urusan orang lain. Al-Qasim bin Muhammad hidup sampai usia 72 tahun (107H), menjadi buta di hari tuanya. Dalam usianya yang lanjut, beliau menuju Makkah untuk naik haji, dalam perjalanan inilah beliau wafat.
Ketika beliau merasa ajalnya telah dekat, beliau berpesan kepada puteranya: “Bila aku mati, kafanilah aku dengan pakaian yang aku pakai untuk shalat. Gamisku, kainku dan surbanku. Seperti itulah kafan kakekmu, Abu Bakar Ash-Shidiq Rodhiallahu ‘anhu. Kemudian ratakanlah makamku dan segera kembalilah kepada keluargamu. Jangan engkau berdiri di atas kuburanku seraya berkata: “Dia dulu begini dan begitu … karena aku bukanlah apa-apa.”
Sumber: Shuwaru min Hayati At-Tabi’in
Jika anda pernah mendengar sebuah hadits, “Perbedaan di antara umatku adalah rahmat”, maka beberapa sumber mengatakan bahwa sanad hadits bermuara/ berhenti/ terputus pada beliau ini. Wallahu a’lam.
Sudah sampaikah berita kepada Anda tentang tabi’in yang agung ini? Seorang pemuda yang terkumpul pada dirinya pujian dari segala sisi, tak satupun pujian luput darinya. Ayahanda beliau adalah Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ibunya adalah puteri Yazdajir, Raja Persia yang terakhir. Sedangkan bibinya dari pihak ayah adalah Aisyah Rodhiallahu ‘anha, Ummul Mukminin. Di samping itu, di atas kepalanya telah bertengger mahkota takwa dan ilmu. Adakah Anda masih mengira ada kemenangan yang lebih tinggi dari kemenangan yang semua orang bersaing dan berlomba mendapatkannya ini?
Dialah Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, satu dari tujuh fuqaha Madinah, yang paling utama ilmunya pada zamannya, paling tajam kecerdasan otaknya dan paling bagus sifat wara’-nya. Marilah kita buka lembaran hidupnya dari awal. Al-Qasim bin Muhammad lahir pada akhir masa khilafah Utsman bin Affan Rodhiallahu ‘anhu. Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya anak ini, badai fitnah semakin dahsyat menerpa kaum muslimin. Hingga me¬ngakibatkan terbunuhnya khalifah yang zuhud, ahli ibadah, Dzun Nurain Utsman bin Affan sebagai syuhada, sedangkan Al-Qur’an ber¬ada dalam dekapannya
Suatu hari beliau memakaikan baju berwarna putih untuk kami. Kemudian aku didudukkan di pangkuannya yang satu sedang adikku di pangkuan yang lain. Paman Abdurrahman datang atas undangannya. Lalu bibi Aisyiah mulai berbicara, beliau mulai dengan pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sungguh aku belum pernah mendengar sebelum dan sesudahnya seorangpun baik laki-laki ataupun perempuan yang lebih fasih lisannya dan lebih bagus tutur katanya dari beliau.
Beliau berkata kepada paman: “Wahai saudaraku, aku melihat sepertinya Anda menjauh dari saya sejak saya mengambil dan merawat kedua anak ini. Demi Allah saya melakukannya bukan karena lancang kepada Anda, bukan karena saya menaruh buruk sangka kepada Anda dan bukan pula lantaran saya tidak percaya bahwa Anda dapat memenuhi hak keduanya. Hanya saja Anda memiliki istri lebih dari satu, se-dangkan ketika itu kedua anak kecil ini belum bisa mengurus dirinya sendiri. Maka saya khawatir jika keduanya dalam keadaan yang tidak disukai dan tidak sedap dalam pandangan istri-istrimu. Sehingga saya merasa lebih berhak untuk memenuhi hak keduanya ketika itu. Namun sekarang keduanya sudah beranjak remaja dan telah mampu mengurus dirinya sendiri, maka bawalah mereka dan aku serahkan tanggung jawabnya kepada Anda.” Begitulah, akhirnya pamanku Abdurrahman memboyong kami ke rumahnya.
Hanya saja, hati anak keturunan Abu Bakar ini masih terpaut dengan rumah bibinya, Aisyah Rodhiallahu ‘anha. Rindu terhadap lantai rumah yang bercampur dengan kesejukan nubuwat. Dia berkembang dan terpelihara oleh perawatan pemilik rumah itu, dia kenyang dalam kasih sayangnya. Oleh sebab itu, dia membagi waktunya antara rumah bibi dan rumah pamannya. Rumah bibinya betul-betul berkesan di hatinya. Lingkungan yang sejuk itu menghidupkan sanubari selama hayatnya. Simaklah kesan-¬kesan yang melekat di hatinya:
“Suatu hari aku berkata kepada bibiku Aisyah Rodhiallahu ‘anha: “Wahai ibu, tunjukkan kepadaku kubur Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dan kedua sahabatnya, aku ingin sekali melihatnya.” Tiga kubur itu berada di dalam rumahnya, ditutup dengan sesuatu untuk menghalangi pandangan. Beliau memperlihatkan untuk kami tiga buah makam yang tidak digundukkan dan tidak pula dicekung-kan. Ketiganya ditaburi kerikil merah seperti yang ditaburkan di halaman masjid. Saya bertanya: “Yang mana makam Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau menunjuk salah satu darinya: “Ini.”
Bersamaan dengan itu, dua butir air mata bergulir di pipinya, tetapi segera di sekanya agar aku tak melihatnya. Makam Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam itu agak lebih maju dari makam ke¬dua sahabatnya. Saya bertanya lagi: “Lalu yang mana makam kakekku, Abu Bakar?” Sambil menunjuk satu kubur beliau berkata: “Yang ini.” Kulihat ma¬kam kakekku sejajar dengan letak bahu Rasulullah. Aku berkata: “Yang ini makam Umar?” Beliau menjawab: “Benar.” Aku melihat letak kepala Umar sejajar dengan jari-jari kakekku, dekat dengan arah kaki Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam.”
Menginjak remaja, cucu Abu Bakar ini telah hafal Kitabullah dan menimba hadits-hadits dari bibinya, Aisyah Rodhiallahu ‘anha sebanyak yang dike¬hendaki Allah. Dia tekun mendatangi Al-Haram Nabawi dan duduk dalam halaqah-halaqah ilmu yang terhampar di setiap sudut-sudut masjid laksana bintang-bintang gemerlap yang bertaburan di langit yang terang.
Beliau menghadiri majlisnya Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Khabbab, Rafi’ bin Khudaij, Aslam pembantu Umar bin Khathab dan sebagainya. Hingga pada gilirannya beliau menjadi imam mujtahid dan menjelma menjadi manusia yang paling pandai dalam hal sunnah pada zamannya, di mana ketika itu seseorang belumlah dianggap sebagai tokoh sebelum dia mendalami sunnah-sunnah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam. Setelah sempurna perlengkapan ilmu pemuda yang merupakan cucu Abu Bakar ini, orang-orang banyak belajar kepadanya dengan penuh perhatian. Sementara beliau memberikan ilmunya tanpa pamrih atau jual mahal. Beliau tak pemah absen untuk pergi ke masjid Nabawi setiap hari lalu shalat dua rekaat tahiyatul masjid kemudian duduk di bekas tempat Umar Rodhiallahu ‘anhu di Raudhah, yakni tempat antara kubur Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam dengan mimbarnya. Selanjutnya berkumpullah murid-muridnya dari segala penjuru untuk menimba ilmu dari sumber yang segar dan bersih, melegakan jiwa-jiwa yang haus akan ilmu.
Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Al-Qasim bin Muhammad dan putera bibinya, Salim bin Abdullah bin Umar, menjadi dua imam Madinah yang terpercaya. Keduanya menjadi tokoh yang ditaati dan didengar perkataannya, meskipun keduanya tidak memiliki wilayah jabatan ataupun kekuasaan. Masyarakat mengangkat keduanya kare¬na sifat takwa dan wara’nya. Juga karena pusaka yang berada di dalam dadanya berupa ilmu dan pemahamannya, ditambah lagi karena sifat zuhudnya terhadap apa yang dimiliki oleh manusia serta berharap banyak terhadap apa-apa yang berada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Martabat keduanya mencapai puncaknya hingga khalifah-khalifah Bani Umayah dan para bawahannya hormat kepadanya. Penguasa-penguasa tersebut bahkan tidak pernah memutuskan suatu masalah yang pelik kecuali setelah mendengarkan pendapat kedua ulama tersebut.Sebagai contoh, ketika Al-Walid bin Abdul Malik berkeinginan untuk memperluas Al-Haram Nabawi yang mulia. Rencana ini tidak bisa dilaksanakan tanpa membongkar masjid yang lama pada keempat arahnya dan menggusur rumah istri-istri Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam untuk perluasan. Persoalan ini rentan dengan perpecahan antara kaum muslimin dan menyakiti perasaan mereka. Mengingat hal ini, maka khalifah menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz, wali Madinah, yang isinya sebagai berikut:
“Saya memandang perlunya memperluas Masjid Nabawi Asy-Syarif sampai 200 hasta persegi. Untuk kebutuhan ini, keempat dindingnya perlu dirobohkan dan rumah istri-istri Nabi terpaksa kena perluasan. Selain itu rumah-rumah yang ada di sekitarnya perlu dibeli dan kiblatnya dimajukan kalau bisa. Anda mampu mewujudkan hal itu, mengingat kedudukan Anda di antara paman-paman Anda adalah keturunan lbnul Khathab dan besarnya pengaruh mereka di masyarakat. Jika penduduk Madinah menolaknya, Anda bisa minta bantuan pada Al-Qasim dan Salim bin Abdullah. Sertakan keduanya dalam rencana pemugaran dan perluasan ini. Jangan lupa, bayarlah ganti rugi rumah-rumah rakyat dengan harga setinggi mungkin. Bagi Anda pahala yang baik seperti yang dilakukan Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan.”
Dengan segera, gubernur Madinah Umar bin Abdul Aziz mengun¬dang Al-Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdullah bin Umar dan para pemuka kaum muslimin Madinah. Kepada mereka dibacakan surat perintah khalifah yang baru saja diterima. Ternyata mereka gem¬bira dengan apa yang direncanakan oleh Amirul Mukminin dan siap sedia untuk mendukung rencana tersebut. Demi melihat imam-imam dan ulama mereka turun tangan sendiri melaksanakan pemugaran masjid, penduduk Madinah secara serentak turut membantu dan melaksanakan sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin dalam suratnya.
Di tempat lain, pasukan muslimin terus mendapatkan kemena¬ngan gemilang. Mereka berhasil menjatuhkan benteng-benteng mu¬suh di Konstantinopel dan merebut kota demi kota di bawah pimpinan komandan yang tangkas dan pemberani, Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan. Ini adalah awal terbukanya Konstantinopel.
Kaisar Romawi mendengar rencana pemugaran dan perluasan masjid Nabawi, maka dia ingin menyenangkan dan mengambil hati Amirul Mukminin. Dikirimnya 100 kilogram emas murni disertai 100 arsitek dari Romawi dan membawa ubin-ubin marmer yang indah. Bantuan tersebut dikirimkan oleh Al-Walid kepada Umar bin Abdul Aziz. Wali Madinah ini baru mau memanfaatkannya setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan Al-Qasim bin Muhammad.
Alangkah miripnya Al-Qasim dengan kakeknya, Abu Bakar Ash-¬Shidiq Rodhiallahu ‘anhu, sampai orang-orang berkomentar: “Tidak ada anak ke¬turunan Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu yang lebih mirip dengan beliau dari Al-Qasim. Dia begitu serupa dalam akhlak, bentuk fisik, keteguhan iman maupun kezuhudannya…” Dan banyak sekali sikap dan perbuatannya yang membuktikan hal ini. Sebagai contoh, ketika ada seorang dusun datang ke masjid lalu bertanya kepada beliau: “Siapakah yang lebih pandai, Anda ataukah Salim bin Abdullah?” Al-Qasim berpura-pura sibuk sehingga si penanya mengulangi pertanyaannya. Beliau menjawab: “Subhanallah.”
Pertanyaan itu diulang untuk ketiga kalinya, lalu Al-Qasim ber¬kata: “Itu dia, Salim putera bibiku duduk di sebelah sana.” Orang-¬orang yang di majelis itu saling berbisik: “Sungguh mirip dia dengan kakeknya. Dia tidak suka dan sangat benci untuk berkata: “Aku lebih pandai,” karena hal itu berarti menyombongkan diri. Namun dia tidak pula berkata: ” Dia lebih pandai,” Sebab itu berarti dusta, meng¬ingat sebenarnya dia lebih pandai daripada Salim.
Suatu ketika, di Mina terlihat para jama’ah haji ke Baitullah berdatangan dari segala penjuru negeri dan mereka bertanya tentang agama kepada Al-Qasim. Beliau menjawab sebatas apa yang beliau ketahui. Kepada mereka yang menanyakan masalah yang dia tidak mengetahuinya, tanpa rasa malu beliau berkata: “Aku tidak tahu … aku tidak mengerti … aku tidak tahu.” Nampaknya orang-orang heran dan pe¬nasaran dengan jawaban tersebut, maka beliau menegaskan kepada mereka: “Aku tidak tahu apa yang kalian tanyakan itu. Seandainya saya tahu, tentu tidak akan aku sembunyikan. Sungguh seseorang hidup dalam keadaan bodoh -selain berma’rifah kepada hak-hak Allah- adalah lebih baik daripada seseorang mengatakan apa yang tidak dia ketahui ilmunya.”
Pernah pula ketika beliau ditugaskan untuk membagikan harta sedekah kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Maka beliau melaksanakannya sebaik mungkin dan memberikan bagian kepada yang benar-benar berhak atasnya. Namun ada satu orang yang tidak puas dengan bagiannya dan mendatanginya di masjid: Beliau tengah melakukan shalat ketika orang itu datang dan bicara soal harta sedekah. Putera Al-Qasim yang mendengarnya dengan dongkol berkata: “Demi Allah engkau telah melemparkan tuduhan terhadap orang yang tidak sepeserpun mengambil bagian dari harta sedekah itu dan tidak makan walau sebutir kurma.”
Setelah menyelesaikan shalatnya, Al-Qasim menoleh kepada puteranya seraya berkata: “Wahai puteraku, mulai hari ini janganlah engkau berbicara tentang masalah yang tidak engkau ketahui.” Orang-orang berkata: “Apa yang dikatakan anaknya memang be¬nar, namun beliau ingin mendidik putranya agar menjaga lidah dalam mencampuri urusan orang lain. Al-Qasim bin Muhammad hidup sampai usia 72 tahun (107H), menjadi buta di hari tuanya. Dalam usianya yang lanjut, beliau menuju Makkah untuk naik haji, dalam perjalanan inilah beliau wafat.
Ketika beliau merasa ajalnya telah dekat, beliau berpesan kepada puteranya: “Bila aku mati, kafanilah aku dengan pakaian yang aku pakai untuk shalat. Gamisku, kainku dan surbanku. Seperti itulah kafan kakekmu, Abu Bakar Ash-Shidiq Rodhiallahu ‘anhu. Kemudian ratakanlah makamku dan segera kembalilah kepada keluargamu. Jangan engkau berdiri di atas kuburanku seraya berkata: “Dia dulu begini dan begitu … karena aku bukanlah apa-apa.”
Sumber: Shuwaru min Hayati At-Tabi’in