Tulisan-tulisan saya yang
mengungkap tentang perjalanan hidup wali-waliyalloh dalam web site ini(
categori manaqib) mendapat sanggahan dari beberapa kawan saya yang memang
kurang percaya tentang seseorang yang menjadi waliyulloh dan tentang
karomah-karomah yang diberikan Alloh kepada hamba Pilihan Alloh
(waliyulloh). Saya coba
akan jelaskan tentang hakikat para Waliyulloh dan karomahnya dari berbagai
sumber referensi yang saya temukan.
A. Pengertian Waliyulloh
Dalam Kitab Jami’u karamatil Aulia Juz 1 hal 7 Syech Yusup bin sulaiman
berpendapat bahwa “wali ialah orang
yang sangat dekat kepada Alloh lantaran penuh ketaatannya dan oleh karena itu
Alloh memberikan kuasa kepadanya dengan Karomah dan penjagaan”
maksudnya adalah orang yang menjadi dekat keadaan jiwanya kepada Alloh karena
ketaatan dia akibatnya Alloh menjadi dekat orang tersebut dan diberikan anugrah
oleh Alloh berupa “karomah” dan penjagaan untuk tidak terjerumus berbuat
maksiat,apabila dia terjerumus berbuat maksiat maka cepat-cepat dia bertaubat.
Kh.Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Ad Durarul Muntatsirah pada halaman 2 beliau
mengungkapkan bahwa Wali adalah orang yang terpelihara dari ;
a. Melakukan dosa besar dan kecil
b.Terjerumus oleh hawa nafsunya sekalipun hanya sekejap dan apabila melakukan
dosa maka dia cepat-cepat bertaubat kepada Alloh.sebagaimana tersebut didalam
alquran(Q.S.YUNUS AYAT 62-64).
Hakim At-Tirmidzi mendefinisikan
Wali Allah adalah seorang yang demikian kokoh di dalam peringkat kedekatannya
kepada Allah (fi martabtih), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti
bersikap shidq (jujur dan benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada
Allah, menunaikan segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan
(al-hudud) Allah, mempertahankan posisi (al-) kedekatannya kepada Allah.menurut
at-Tirmidzi, seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga berada pada
posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian ia berada di hadapan-Nya, dan
menyibukkan diri dengan Allah sehingga lupa dari segala sesuatu selain Allah.
Karena kedekatannya dengan Allah, seorang wali memperoleh ‘ishmah
(pemeliharaan) dan karamah (kemuliaan) dari Allah. menurutnya, ada tiga jenis
‘ishmah dalam Islam. Pertama, ‘ishmah al-anbiya’ (ishmah para Nabi) merupakan
sesuatu yang wajib, baik berdasarkan argumentasi ‘aqliyyah seperti dikemukakan
Mu’tazilah maupun berdasarkan argumentasi sam‘iyyah. Kedua, ‘ishmah al-awliya’
(merupakan sesuatu yang mungkin); tidak ada keharusan untuk menetapkan ‘ishmah
bagi para wali dan tidak berdosa untuk menafikannya dari diri mereka, tidak
juga termasuk ke dalam keyakinan agama (‘aqa’id al-din); melainkan merupakan
karamah dari Allah kepada mereka.
Allah melimpahkan ‘ishmah
ke dalam hati siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara mereka. Ketiga, ‘ishmah
al-‘ammah, ‘ishmah secara umum , melalui jalan al-asbab, sebab-sebab tertentu
yang menjadikan seseorang terpelihara dari perbuatan maksiat. ‘Ishmah yang
dimiliki para wali dan orang-orang beriman, menurut at-Tirmidzi,
bertingkat-tingkat. Bagi umumnya orang-orang yang beriman, ‘ishmah berarti
terpelihara dari kekufuran dan dari terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi
para wali ‘ishmah berarti terjaga (mahfuzh) dari kesalahan sesuai dengan
derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Masing-masing mereka mendapatkan ‘ishmah
sesuai dengan peringkat kewaliannya.
Inti pengertian ‘ishmah
al-awliya’ terletak pada makna al-hirasah (pengawasan), berupa cahaya ‘ishmah
(anwar al-ishmah) yang menyinari relung jiwa (hanaya al-nafs) dan berbagai
gejala yang muncul dari kedalaman al-nafs, tempat persembunyian al-nafs
(makamin al-nafs), sehingga al-nafs tidak menemukan jalan untuk mengambil
bagian dalam aktivitas seorang wali. Ia dalam keadaan suci dan tidak tercemari
berbagai kotoran al-nafs ( adnas al-nafs ).
jadi dari berbagai pendapat diatas bahwa Derajat ke” Wali” an pada hakekatnya
dapat diperoleh atau dicapai oleh sesorang mukmin yang bertaqwa dengan jalan
melaksanakan dan menta’ati segala peraturan dan tuntunan sya’ra yang diwajibkan
dan yang disukai Alloh SWT dikerjakan dengan penuh ketekunan . Dan yang Haram
atau yang tidak disukai Alloh dijauhkan dan dihindarkan dari dirinya supaya
jangan sampai jatuh tergelincir melakukannya. Apabila tergelincir melakukan
dosa kecil sekejap saja cepat-cepat diikuti dengan bertaubat yang
sebenar-benarnya.dan terus segera kembali kepada yang haq (benar).
B. Pengertian Karomah
Karomah menurut bahasa/lughoh sama dengan Aza-zah artinya kemuliaan (munjid hal
682) . Pengertian karomah menurut Syeck Ibrahim Al Bajuri dalam kitabnya
“tuhfatul Murid” hal 91 bahwa karomah adalah” sesuatu luar biasa yang tampak
dari kekuasaan seorang hamba yang telah jelas kebaikannya yang diteyapkan
karena adanya ketekunan didalam mengikuti syariat nabi dam mempunyai i’tiqod
yang benar”
Menurut Hakim At-Tirmidz Adapun
yang dimaksud karamah al-awliya’ tiada lain, kemuliaan, kehormatan,(al-ikram);
penghargaan (al-taqdir); dan persahabatan (al-wala) yang dimiliki para wali
Allah berkat penghargaan, kecintaan dan pertolongan Allah kepada mereka.
Karamah al-awliya itu, dalam pandangan Hakim at-Tirmidzi, merupakan salah satu
ciri para wali secara lahiriah (‘alamat al-awliya’ fi al-zhahir) yang juga
dinamakannya al-ayat atau tanda-tanda.
Hakim at-Tirmidzi membagi karamat al-awliya ke dalam dua bagian. Pertama,
karamah yang bersifat ma‘nawi atau al-karamat al-ma‘nawiyyah. Karamah yang
pertama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan secara
fisik-inderawi, seperti kemampuan seseorang unrtuk berjalan di atas air atau
berjalan di udara. Sedangkan karamah yang kedua merupakan ke-istiqamah-an
seorang hamba di dalam menjalin hubungan dengan Allah, baik secara lahiriah
maupun secara batiniah yang menyebabkan hijab tersingkap dari kalbunya hingga
ia mengenal kekasihnya, serta merasa ketentraman dengan Allah.
At-Tirmidzi memaparkan
karamah yang kedua sebagai yang berikut:
Kemudian Tuhan memandang wali Allah dengan pandangan rahmat. Maka Tuhan pun
dari perbendaharaan rububiyyah menaburkan karamah yang bersifat khusus
kepadanya sehingga ia (wali Allah) itu berada pada maqam hakikat kehambaan (al-haqiqah
al-ubudiyyah). Kemudian Tuhan pun mendekatkan kepada-Nya, memanggilnya,
menghormati dan meninggikannya. Menyayanginya dan menyerunya. Maka wali pun
menghampiri Tuhan ketika ia mendengar seru-Nya. Mengokohkan (posisi)-nya dan
menguatkannya; memelihara dan menolongnya; sehingga ia meresponi dan menyambut
seruan-Nya. Dalam kesunyian ia memanggil-Nya. Setiap saat ia munajat
kepada-Nya. Ia pun memanggil kekasihnya. Ia tidak mengenal Tuhan selain Allah.
Jadi karomah adalah merupakan sesuatu perkara yang terjadi diluar kemampuan
akal manusia biasa untuk memikirkan atau menciptakan .perkara itu ( karomah)
diberikan Alloh kepada hambanya yang sudah terang kebaikannya( shalehnya),
setiap sikap perbuatan dan ucapannya serta keadaan hatinya selalu bergerak sesuai
dengan tuntunan ajaran Islam yang dibawa oleh Rosululloh SAW baik dalam segi
syaria’t atau aqidah serta akhlaknya.
Oleh karena itu bagi Waliyulloh dengan Karomahnya kadang-kadang tampak
keanehan-keanehan baik dalam sikap tindakan dan ucapan yang tidak begitu saja
mudah bagi akal manusia biasa untuk memahaminya. Sebagai contoh karomah ialah
seperti dapat dilihat adanya peristiwa Maryam yang disebut dalam surat Ali
Imron ayat 37, juga peristiwa Ashabul Kahfi dalam surat al kahfi ayat 25 dan
tidak berbeda pula halnya dengan Karomah-karomah Para Habaib dan Para Ulama
yang saya tulis tersebut seperti karomahnya Al Habib Abduloh bil Faqih yang
selalu bertemu langsung dengan Rosululloh begitu pula dengan KH.Hamim Djazuli
(Gus Miek) yang melakukan dakwahnya ditempat hiburan malam.
Orang yang menolak karamah al-awliya’, disebabkan mereka tidak mengetahui
persoalan ini kecuali kulitnya saja. Mereka tidak mengetahui perlakuan Allah
terhadap para wali. Sekiranya orang tersebut mengetahui hal-ihwal para wali dan
perlakuan Allah terhadap mereka; niscaya mereka tidak akan menolaknya.
Penolakan mereka terhadap karamah al-awliya’, disebabkan oleh kadar akses
mereka terhadap Allah hanya sebatas menegaskan-Nya; bersungguh-sungguh di dalam
mewujudkan kejujuran (al-shidq); bersikap benar dalam mewujudkan kesungguhan
sehingga meraih posisi al-qurbah (dekat dengan Allah). Sementara mereka buta
terhadap karunia dan akses Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Demikian juga
buta terhadap cinta (mahabbah) dan kelembutan (ra’fah) Allah kepada para wali.
Apabila mereka mendengar sedikit tentang hal ini, mereka bingung dan
menolaknya.
C. Hirarki Kewalian
Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi
tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas
dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar
dapat diringkas sebagai berikut :
Wali Aqthab atau Wali
Quthub
Wali yang sangat
paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya
hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang
menggantikan.
Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat.
Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan
alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam
malaikat.
Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang
masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam
Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul
Qadir dan Abdu Murid.
Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu
tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang,
yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus
Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke
tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa
al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali
Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara
mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari,
banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.
Wali Nuqoba’
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka
tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap
semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki
seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh,
orang baik atau tidak.
Wali Nujaba’
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.
Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela
agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad
sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali
Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.
Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah
mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling
mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap
awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka
berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat
kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya
perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan
peristiwa ghaib.Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka
masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian,
sesudah 3 hari baru bisa berbicara.Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan
terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika
mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai
pedagang.
Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam
bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd,saw.
derajat Wali yang
disandang sesorang itu adalah merupakan anugrah dari Alloh yang telah dicapai
seorang hamba dalam mencari Hakekat Alloh ( Aripbillah). Bahkan ibadahnya
seorang wali itu lebih utama dibandingkan dengan ibadahnya seorang Ulama yang
A’lim.Kenapa demikian ? seorang Wali telah mencapai hakekat Alloh sedangkan
seorang ulama baru tahap mencari jalan untuk mencapai hakekat Alloh. wali
dapat diketahui dengan wali yang lain ada juga seseorang yang menjadi wali
Alloh tapi dirinya tidak tahu bahwa dia seorang Wali.... Wallulloh ‘alam
dari berbagai sumber...
dari berbagai sumber...